Tidak jauh dari Angkor Wat di Cambodia, terletak sebuah danau raksasa bernama Tonle Sap. Di musim kemarau saja, danau ini seluas dua kali Danau Toba, yang merupakan danau terluas di Indonesia. Di musim penghujan? Air naik, badan danau membengkak hingga lima kali lipatnya, menjadi sebuah danau maha luas seukuran tiga kali Pulau Bali!
Karena luasnya ini, tak heran kalau jumlah terbesar ular air tawar di Asia Tenggara terdapat di sini. Danau ini juga menjadi rumah bagi Mekong giant catfish, ikan air tawar terbesar di dunia yang panjangnya bisa mencapai 3 meter, juga buaya Siam yang kini hampir punah di alam bebas.
Namun Tonle Sap bukan hanya rumah untuk buaya siam, lele raksasa, ular air dan spesies-spesies akuatik lainnya. Tonle Sap juga rumah bagi ratusan ribu manusia yang hidup di perkampungan terapung di atasnya.
Siang hari itu kami memutuskan untuk meninjau perkampungan terapung* itu.
Dari sekian banyak perkampungan terapung di Tonle Sap, Kampong Phluk adalah yang paling terkenal bagi para turis. Kecantikan dan keunikan perumahan terapung dan hutan terapungnya, digabungkan dengan letaknya yang hanya 1 jam berkendara tuktuk saja dari Siem Reap, menjadikan Kampung Phluk ini menjadi sasaran wisata ideal.
Namun sayangnya, kami mendengar berbagai komentar negatif dari orang-orang yang pernah mengunjunginya. Preman-preman menipu turis dengan kedok donasi untuk kesejahteraan rakyat setempat yang miskin. Interaksi dengan orang lokal pun sulit berlangsung secara alami, saat turis hanya dipandang sebagai kantung uang. Anak-anak kecil mengelilingi para turis dan menyapa tidak dengan “hello” atau “susdai” (hello dalam bahasa Khmer), melainkan dengan sapaan “one dollar, one dollar”.*
Kami bukan sekedar ingin melihat kecantikan desa apung. Kami ingin meninjau kehidupan mereka yang sesungguhnya. Yang apa adanya.
Kami pun memutuskan untuk pergi ke Kampong Khleang yang jaraknya 2 kali lipat. Dengan harapan bahwa kampung ini belum dikomersialisasikan untuk wisata, sehingga kami bisa melihat kehidupan rakyat di atas danau apa adanya.
Setelah lebih dari 2 jam perjalanan, tuktuk berhenti di sebuah dermaga kecil. Dermaga khusus turis! Mereka minta harga 30 dolar per orang untuk sightseeing boat trip selama 1 jam. 30 dolar! Harga yang untuk ukuran wisata di Eropa dan Amerika pun sudah termasuk mahal.
Karena sepi, mereka menurunkan harga hingga $25 per orang. Masih mahal.
Pasti ada alternatif lain.
Ini hanya dermaga untuk turis saja. Di mana kapal masyarakat lokal berlabuh?
Di mana kah Kampong Khleang -nya sendiri? Dari tadi kami belum lihat. Apakah ada akses darat ke kampung tersebut? Apakah tuktuk kami bisa ke sana? Ataukah kampung tersebut telah terendam air danau sehingga hanya bisa dicapai oleh kapal?
Namun tak mungkin kan, jika yang ada hanya dermaga turis, tak ada kehidupan orang lokal. Pastinya ada pemukiman rakyat di dekat sini. Atau jika desanya memang nun jauh di danau, meskipun akses jalanan darat telah terendam, pasti lah ada dermaga – sesederhana apa pun – untuk orang lokal.
Dan lagi, jalanan masih belum terputus air. Kami minta pak tuktuk kami untuk meneruskan perjalanan, mencari kampung yang dimaksud.
Dan ia menolak keras!
Ia bersikeras bahwa ini adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Naik kapal turis seharga $30 per orang. Tidak ada transportasi lain, tak ada transportasi lokal ke desa, tak ada jalan darat ke desa.
Kami menunjuk ke arah jalan. Bagaimana kalau meneruskan perjalanan?
Dia bersikeras tidak akan menyetir lebih jauh dari dermaga ini. Sementara kami melihat berbagai kendaraan melewat. Tentunya, ada sesuatu di sana.
Pak tuktuk ngotot tak mau. Tak bisa. Tak mungkin. tak boleh.
Akhirnya kami mengerti: Ia tak ingin komisi dari kapal sightseeing turis melayang.
Akhirnya ia bersedia mengantar kami jika kami membayar $5 ekstra. Dengan alasan desanya sangat jauh. Ia tak mau ditawar, dan kami pun akhirnya setuju.
Ternyata pak tuktuk bohong. Jarak jauh ekstra $5 itu ternyata tidak sampai 3 menit dengan tuktuk! Jalan kaki pun sebenarnya bisa. Hanya saja kami tak tahu kalau bakal sedekat itu. Tadi juga tak ada seorang pun yang bisa ditanya. Percuma, semua orang berusaha keras menaikkan kami ke kapal turis $30.
Kami pun tersadar. $5 yang pak tuktuk minta sebenarnya bukan untuk bahan bakar dan waktu ekstra, namun untuk menutupi komisi yang tak jadi ia dapatkan dari dermaga kapal turis!
Namun tak apa lah, karena tujuan kami semula, mengunjungi sebuah desa terapung dengan kehidupan yang masih autentik, terpenuhi.
And that’s where the magic began!
How to get there?
1. Dari Siem Reap ke Kampong Khleang bisa naik tuktuk. Tawar. Kami dapat harga $18 pp + tunggu.
2. Kalau kalian ingin ke Kampong Khleang, mungkin harus ngotot ke pak tuktuk-nya. Kalau nggak, dibawa ke Kampong Phluk.
3. Waktu perjalanan 2-3 jam one way. Mau lihat sunset? berangkat siangan saja.
4. Tuktuk akan mengantar ke dermaga turis, di mana tersedia sighseeing boat tour untuk turis ($25-30 per orang). Jika ingin ke desanya sendiri, minta untuk terus. Desa tersebut terletak tak sampai 5 menit dari dermaga.
5. Di desa, bisa minta penduduk antar sightseeing dengan kapal mereka. Saat itu kami menawarkan $10 per orang untuk 1 jam, langsung dikasih. Mungkin kalian bisa coba $5 per orang atau $10 per kapal.
Oh ya,
Sebagian besar foto di sini diambil pakai Smartphone Sony Xperia Z1. Untung pake HP yang satu ini, soalnya pas motret dari kapal, sempat tersiram gelombang kapal lain lewat sehingga basah kuyup. Pak kapal dan pak tuktuk (yg ikutan sightseeing) sampai sempat panik. Untungnya Xperia Z1 kan waterproof :p.
Tips tambahan, kalau pakai Xperia Z1 untuk situasi alam yang rugged, bisa ditambahkan tali supaya ga gampang jatuh.
*Perkampungan terapung – lebih tepatnya disebut perkampungan di atas tonggak.
siipp tenan!
jurus ngeyel –> jurus paling keren selama wisata 🙂
pak tuktuk, mana fotonya? yang ada malah pak kapal dengan senyum ramahnya 😀
penduduk Kampung Khleang koq mirip orang Kalimantan yaa, heheee…
jurus ngeyel, lol 🙂
pak tuktuk ada fotonya di kapal. Pak kapal di kanan, pak tuktuk di kiri, ryan di belakang 🙂
Iya di kalimantan juga banyak desa terapung ya 🙂
Kadang sedih deh Mbak liat anak2 kecil di tempat2 turistik yang meminta2 uang 🙁 Aku ngalamin pas di Pandawa dan rasanya kok miris banget. http://medischfun.wordpress.com/2013/12/03/sad-story-from-pandawa-beach/
barusan baca kisah kamu di pandawa beach mbak, miris banget 🙁
pemandangan seperti ternyata tak hanya di Indonesia. di Kamboja pun sama…sip mbak reportasenya he
Makasih, hehhe
Wah, aku baru tahu kalau ada danau segede ini di sana.
Itu yang ambil portrait bokeh apa kalai Xperia Z1 juga, Din?
ang bokeh itu maksudnya yang paman ngerokok ya? yang itu pake zoom lens kamera mirrorless :)). Z1 kalo ga salah ada zoom lens-nya. tapi ga kuat biayanya x)… masih ngegantungin mirrorless kalo mau zoom-zoom. cuman z1 itu enaknya pinter milih mode. apalagi kalo backlight. Kamera mirrorlessku kalah pinter ngeluarin warnanya, sering gosong. Z1 lebih pinter otomatis ngakalin supaya gak gosong. hehehe
I love how you could capture life and people within your journey mba 🙂
pemandangannya mirip kampung halamanku di sumatera sana…
btw jebretannya oke banget…salam kenal
salam kenal 😀
Sumatranya di mana mas?
Kamboja memang penuh warna yaaa….dan so far daya tarik terbesarnya, buat aku, adalah Angkor Wat :D..salam kenal dan bon courage pour around the world tripnya…love all the pics :)..
makasih ya :’) Iya angkor wat emang luar biasa 🙂
ngeliat foto yang menyisik ikan itu langsung kebayang suasana di Cilincing, Jakarta.. tp kebanyakan siy kerang yaa.. hehe, liat foto2nya kebayang gmn kampung Khleang mbak Din 😀
Kapan ya… pemalak2 di dunia ini sadar.
terkadang di negeri kita sendiripun banyak yang begitu :(.
iya 🙁
Foto-fotonya saya suka, damai ya disana..
Yg foto di shrine jangan-jangan polpot tuh?
Numpang promosi wisata kampung halaman..
http://yuiword.com/2012/01/04/pantai-klayar-tanah-lotnya-pacitan/
itulah seninya kalau menuju tempat yang yang belum diketahui, mau jalan takut jauh, mau pakai kendaraan malah dimahalin, tapi kedua2nya sama2 meninggalkan kesan 😀
hahahha, iya, tapi gitu lebih asyik daripada cari aman ikut tur, terus gitu-gitu aja. Iya nggak sih :))
aku baru tau situs blog nya kak dina waktu liat acara tv ini talkshow mengundang sepasang suami&istri backpacker
trims buat kak dina uda ngasih tau blog nya
Makasih mas 🙂
disana banyak rumah panggung?? menarik untuk berkunjung
Salam kenal Dina. Btw saya liat kalian berdua di Ini Talkshow 1 ato minggu yg lalu 😀
Anyway, berarti lbh baik ke Kampong Khleang daripada Kampong Phluk ya??
Hehehhe 😀
Kampong Khleang lebih otentik, tapi ke sananya sulit sih, perjuangan bange sampe akhirnya diturutin ama supir tuktuknya. Kalo ke kampong phlluk, sudah terstruktur.
berapa lama waktu yang ideal untuk bisa menikmati kota Siem Reap? minta infonya ya
sebetulnya tergantung waktunya yang ada berapa lama dan sukanya gimana sih, aku di sana mungkin setengah-satu bulan, hehehe.. sevetulnya 3 hari mungkin udah cukup. kalo terpaksa, 1 full day juga bisa. yang penting sempat eksplor angkor wat sepagian, sorenya main di kawasan backpackernya
Membaca catatan perjalanan ini kami jadi ingat sekali waktu pernah menonton film dokumenter tentang Danau Sentarum di Kalimantan. Di sana juga banyak permukiman. namun, entah bisa dibilang beruntung atau tidak, danau di perbatasan Indonesia dan Malaysia itu belum se-over-exploited danau di Kamboja ini. Tapi, terlepas dari itu semua, adalah tugas kita sebagai pejalan untuk mengabarkan keadaan daerah-daerah jauh yang kurang diperhatikan. Nice post, Mbak Dina! 🙂
Hehehe makasih traveller kaskus 😀
Pingin ngunjungin yang di Kalimantan juga.
Memang banyak dilemanya ya…
terlihat sekali bahwa masih banyak perkampungan kumuh di kamboja, tak terurus
Waah pengalaman yang menarik. Suasanya juga tidak berbeda dengan Indonesia. Seru sepertinya kalau bisa ke sana. Oiya, saya tertarik lihat postingan ini berawal dari fotonya di halaman depan. Saya pikir foto di postingan ini sebagian besar diambil dengan kamera DSLR, ternyata hanya dengan kamera smartphone. Kereen Mbak!! : D
Hehehhe, smartphone jaman sekarang emang mulai mengerikan kemampuannya ya x)
menarik banget ceritanya mbak, pake jurus ngeyel.
Jadi inget pengalaman 2013 kemaren ke Kamboja. Negaranya eksotis, banyak spot kece cuma sayang tukang tuktuknya suka maksa. Pengen banget ke Siam Reap krn dulu cuma sempat ngunjungin Phnom Penh aja. Sekedar cerita, anehnya waktu di Phnom Penh ini kekerabatannya erat banget kalau ketemu yang se-agama. Pernah dianter kemana-mana sama bapak tuktuk yang kebetulan muslim dikasih harga yang miring banget, plus ditungguin pula. Semoga 2015 ini bisa kesana, kangen sama makanannya… 😛
wkwkwk iya tuktuknya suka maksa banget paket wisata, padahal kadang maunya cuma ke jarak dekat aja, hahaha. Beruntung banget kalo gitu ya ketemu ama bapak tuktuk muslim 🙂
Aku malah ga sempat ke phnom penh, terlalu nyaman di siam reap, hihihi
Salam kenal mbak…
saya udah follow twitter & instagramnya dua ransel biar dapet info terkini soal traveling.
Mbak sekalian mau tanya dan minta saran untuk itenarary pnomphen & siem reap. Oktober nanti saya & istri sudah mengantongi tiket & hotel di Phnomphen, berangkat dr Jakarta ke Phnomphen, pulang dari Phnomphen juga.
Trip kita jadwalin 4 H 3 M
Terima kasih atas saran & petunjuknya ya mbak.
Berkah Dalem
Salam Ransel,
Adi & Sari