Saya suka scuba diving, saya suka snorkeling. Saya diperkenalkan ke dunia scuba diving sejak kecil. Tidak ingat sewaktu SMP atau SMU, saya dan sepupu saya kursus diving di Angkatan Laut, di tangki air yang sempit namun sangat dalam. Ujiannya di pelabuhan Perak, Surabaya, yang penuh dengan kapal-kapal besar, dan air lautnya sangat berlumpur dan berminyak. Begitu menyebur, jarak pandang rasanya cuma setengah meter, selebihnya gelap dan kental! Keluar dari air, badan saya dan sepupu terlapisi lumpur kental berwarna hijau gelap. Uuughh….
Bermulai dari lumpur hijau kental ini, saya mencintai snorkeling dan scuba diving. Saya lebih suka scuba diving daripada snorkeling, karena kalau snorkeling badan kita terombang-ambing oleh ombak, sehingga kurang tenang menikmati alam bawah lautnya. Dan biasanya alam laut yang agak jauh dari permukaan lebih cantik dan beragam. Kalau diving enak, begitu tenang dan damai di bawah sana. Sayangnya, scuba diving itu lumayan mahal juga, jadi tidak bisa sering-sering.
Selain biaya, yang suka bikin saya malas untuk ikut ekspedisi selam adalah mata saya. Saya ini makhluk berkacamata tebal, minus 4 dan 6 sekian. Saya masih ingat waktu SMU, kacamata saya suka miring karena berat sebelah. Tanpa kacamata selam berukuran setidaknya minus 3, saya tidak bisa melihat apa-apa. Tidak semua dive shop punya kacamata minus.
Kok tidak pakai lensa kontak saja, mbak? Well, bisa sih, tapi karena mata saya cepat kering dan iritasi dengan lensa kontak. Dan itu bukan benda murah, jadi saya jarang stok. Ketika mendadak tau ada lokasi selam bagus di dekat kami, saya biasanya tidak bawa lensa kontak.
Berkat traveling, saya sempat mencicipi scuba diving di beberapa lokasi di dunia. Pertama kalinya saya menyelam di laut yang cantik, bukan di kuah hijau kental, adalah di dekat Bali. Di Bunaken, saya menyelam bersama keluarga tercinta. Bahkan sang ibunda yang sedang merayakan ultahnya yang ke-60 pun turut menyelam! Saya sangat bangga pada mami saya ini yang jiwa petualangannya besar! Saya sempat menyelam di Great Barrier Reef di Australia dan Mesoamerican Barrier Reef di Honduras, Amerika Tengah: barrier reef terbesar nomor 1 dan 2 di dunia. Di Honduras ini, kami mengambil kursus selam Open Water PADI.
Selain berdiving ria, di tiap lokasi ini kami snorkeling juga. Dari yang sudah pernah saya lihat, yang paling indah alam bawah lautnya adalah Bunaken. Namun pengalaman snorkeling saya yang paling mengesankan justru adalah snorkeling di Fiji, yang justru saya tidak ingat sama sekali alam bawah lautnya seperti apa. Terus, mengapa snokeling di Fiji paling berkesan?
Fiji, Desember 2010
Saat itu kami sedang transit di Fiji, dalam penerbangan dari Sydney ke Los Angeles. Transit 4 jam, ataupun 4 hari, harga tiketnya sama. Berpijak pada asas “mumpung harga sama”, kami pilih 4 hari. Fiji sangat terkenal akan keindahan lagunanya. Banyak terdapat resort di pulau-pulau kecil yang luar biasa cantiknya. Namun ternyata untuk pergi ke sana, harganya mahal dan butuh waktu yang lama karena transportasinya lewat laut. Jadi kami memutuskan untuk menginap di resort murah di pinggir sebuah laguna yang jaraknya hanya 1-2 jam dari airport, di pulau Viti Levu yang terbesar di Fiji.
Bersantai di kursi pantai, dengan laguna cantik membentang di depan kami, sambil makan “banana lolo” yang mirip dengan kolak pisang, dengan buku di tangan, membuat kami suka lupa waktu. Benar-benar island time, deh. Cek brosur berbagai tur di lobby resort, ternyata ada sebuah day tour yang bisa kita ambil, untuk mengunjungi sebuah pulau mini berlaguna di dekat sini. Turnya meliputi naik boat menyusuri sungai, bersantai di pulau mini berpantai cantik, makanan tradisional, atraksi para kanibal, upacara minum “kava” yang bikin mulut mati rasa, tari tradisional dan tari api yang luar biasa, lomba lari keong, dan…. snorkeling di laguna!! Sip, here we go!!
Saya sudah tanya lewat telepon, kata penyelanggara tur, mereka punya diving goggles dengan lensa negatif. Sip. Sesampai di pulau, saya tanya lagi tentang goggles, mereka bilang, ada di kapal. Double sip! Well, sesampai di kapal, saya tanya lagi, dan coba tebak kawan, ternyata mereka tidak punya kacamata snorkel negatif! Saya diberi kacamata snorkel biasa. Aduh, sebalnya.
Kapal pun melaju di laguna meninggalkan pulau mini di belakang kami. Pemandangannya sangat indah. Tapi dalam hati ini agak jengkel, bagaimana bisa lihat alam bawah laut dengan baik, nyaris buta begini.
Snorkel atau tidak…
Snorkel atau tidak…
Ryan sang suami, yang tidak pernah merasakan kaburnya penglihatan oleh mata sebobrok mata saya, menganjurkan untuk ikut snorkel, akan dia gandeng katanya.
Apa gunanya? Kata saya.
Daripada di kapal sendirian, mendingan nyemplung laut, katanya.
Benar juga. Ya udah deh, byur!
Semua buram! Ini sama saja dengan menyelam di pelabuhan Perak yang berair hijau gelap kental dulu! Karang nampak di bawah dan di sekitar kami, namun hanya coklat-coklat saja. Kadang dangkal, kadang dalam. Nah, itu masih bisa saya lihat. Kadang ada bayangan kecil berwarna cerah , bergerak dengan kecepatan tinggi: ikan! Kalau bayangannya tidak bergerak, anemon. Tapi semuanya kabur. Benar-benar membosankan deh. Kapan ya, selesainya…
Tiba-tiba saya melihat ikan berwarna biru, besar, melesat dengan cepat agak jauh di bawah permukaan. Wah!!! Gembiranya saya akhirnya melihat sesuatu! Bukan sekedar sesuatu saja, saya yang sudah menyelam beberapa kali ini tidak pernah melihat ikan sebesar itu! Biru, lagi! Saya langsung jawil-jawil Ryan, sambil menunjuk-nunjuk bersemangat!
Ikan biru melesat ke arah kami. Yang tadinya buram, sekarang sang ikan terlihat lebih jelas.
Ikan apakah itu? Melalui snorkel saya, saya menjerit gembira!
Dan kemudian menjerit kecewa!
Ternyata itu sama sekali bukan ikan, melainkan salah satu pemandu snorkel kami, yang berpakaian selam biru, sedang melakukan free-dive!
Arrrgghhh…. Satu-satunya objek yang saya bisa lihat adalah… seorang manusia?
Manusia biasa lagi, bukan Deni si Manusia Ikan.
Sebal deh…
Oke, ekspedisi snorkel kami pun berlanjut.
Renang renang… Renang renang…
Tiba-tiba, sebutir pasir berkecepatan tinggi menabrak saya. Rasanya seperti celekit panas. Trus berenang… sebutir pasir lagi menabrak saya. Kemudian 2, kemudian 3. Sakit rasanya. Dan panas. Saya mulai menggeliat-geliat sebal dan bingung. Namun Ryan tenang-tenang saja tuh. Apa cuma saya saja yang kena? Apaan sih ini? Saya berusaha melihat apa yang menyerang saya, saya berusaha melihat tangan saya yang berbintik-bintik panas, semuanya kabur. Yang bisa saya lihat cuma air laut yang butek, dasar mata lemah saya.
Tiba-tiba banyak sekali pasir yang menabrak saya. Tidak tahan lagi, saya melompat tegak dan berteriak ke Ryan, “Ryan, kita dibombardir pasir!”
Saya tahu pasti kedengaran tidak masuk akal. Tapi itu adalah reaksi pertama saya.
Ryan lihat kanan-kiri, ternyata orang-orang di sekitar kami juga celingukan. Sampai akhirnya sang ikan biru berteriak, “Sea lice, sea lice! Let’s go back to the boat!”
Ternyata pasir panas itu adalah makhluk kecil kasat mata yang orang setempat sebut sea lice, alias kutu laut. Mungkin semacam ubur-ubur mini berdaya sengatan hebat.
Mana kapalnya? Itu sudah dekat di depan kita, mungkin berenang beberapa menit lagi juga sampai.
Tapi oh tapi, ternyata penderitaan ini barulah dimulai.
Ternyata tadi itu kami hanyalah berada di pinggir kawasan sea licenya saja. Dan di antara kami dan kapal, terbentang apa yang kemudian kami sebut “sup kental sea lice”! Ya ampun… setiap detiknya, puluhan titik sengatan menghujam sekujur tubuh. Sekali tersengat, sensai panas dan sakitnya tidak hilang. Saya menggeliat-geliat berusaha mengusir para kutu dari jalur renang saya, tapi sepertinya tidak ada gunanya. Tetap berkutat menepuki kulit yang tersengat seperti menepuk nyamuk, saya berenang secepatnya ke kapal. Lama sekali rasanya, perjalanan ke kapal. Begitu sampai, saya langsung melejit lompat ke tangga kapal. Arrrghhh, aduhhhh….
Badan saya menuh dengan bintik-bintik sengatan kecil. Di antaranya tampak seperti titik merah, namun banyak yang tidak nampak. Namun semuanya terasa panas, sakit dan kadang-kadang gatal. Yang paling menyebalkan, masa di daerah yang terlindung bikini pun tersengat! Kok bisa ya? Tapi wajah dan leher betul-betul bersih dari serangan. Kok bisa ya? Well, bersyukurlah saja, jangan bertanya!
Beberapa kemudian, belasan bintik sengatan ini bertransformasi menjadi benjolan kulit yang sangat tebal dan gatal. Benjol seperti gunung berapi, bukan seperti kulit jeruk. Kadang-kadang tidak terasa, namun terus tiba-tiba berasa panas, gatal, dan sakit dengan intensitas tinggi. Sudah saya kasih berbagai macam salep dan krim, sampai minyak eukaliptus segala yang kata beberapa teman manjur untuk meredakan gatal-gatal. Namun semua hanya manjur beberapa jam saja, dan kemudian gatal lagi. Kapan hilangnya? Ternyata baru beberapa bulan kemudian.
Jadi? Snorkeling di sup kutu laut Fiji? Ugghh…
Garuk… garuk… garuk…
kyaaaa geli deh ngebayanginnya *ikutgaruk2kepalayangmendadakgateldengerkatalice*
Hahaha, kalo aku garuk-garuk pinggang, banyak di situ kesengatnya, haha
wah, din..apa mungkin kamu punya peralatan Goggle sendiri..kasian ternyata your sighting’s so limited..*sad to read ur past story with ur glasses*
Sekarang udah ada tik, di Honduras beli. Jadi sekarang bakal ndak buta lagi di bawah air, hehe
Wah mantap banget ceritanya. anyway, thanks uda memasukkan namaku di dalam cerita itu
hehehehe
Tengkyu tengkyu! Itu untungnya punya sepupu keren kayak kamu ๐
Mbak Dina, googles yang bagus (yang pipanya berkatup sehingga bisa dibawa menyelam) itu merk nya apa ya?
Waduh, sebaiknya ke toko selam langsung aja, aku biasanya asal comot aja di diving site. Bahkan ketika aku beli yang ada negatifnya, itu cuman ada satu pilihan, jadi aku ndak lihat merek/jenisnya. Kalo mau, aku hubungin ke temenku yang kerja do toko selam?
Boleh Mbak Dina. Minta email teman Mbak Dina yang kerja di toko alat selam.
Posisi tokonya dimana ya? Saya di Surabaya.
Namanya Dio ( [email protected] ), sudah aku bilangin kalo Owen mungkin mo kontak dia. Tokonya sih di Jkt, tapi mungkin dia bisa kasih saran ttg sby.
Terima kasih Mbak Dina, akan saya coba hubungi
Btw webnya bagus Mbak. Saya nyasar ke sini gara2 cari info tentang snorkeling.
Semua tulisan Mbak Dina menarik. Semoga cepet dipublish jadi buku ๐
Wah, makasih banget ya ๐ ๐
Dear Dina,
sebagai sea addict yg juga sering kena ‘kecelakaan’ gatal-gatal oleh mahluk laut, ijinkan saya memberikan beberapa tips berharga *ala mario teguh*
bawa selalu cuka. bisa buat bilas bentol dan luka gigit oleh binatang/tumbuhan laut. perihnya mungkin luar biasa, tapi abis itu ketolonglah lumayan. kalo gak kepake, si cuka bisa buat tambahan makan ikan bakar.
minum incidal sehari sekali abis itu dan jangan pernah absen pake salep hydrocortisol. kalo di jakarta banyak apotik yg jual, harganya 5000 perak. kalo di luar negeri gak tau deh.
tapi yg jelas cuka berguna buat pertolongan pertama.
Wah, Mbak Cici, makasih banget tips2nya! Penting itu!!
aku malah lagi suka-sukanya nyelaaammm… :))
Kak Dina…..tengkiuuu da mau berbagi……
Hm… Anda berdua adalah petualang yang hebat! Saya berikan semua jempol terbaik saya untuk Anda! Kebetulan td pagi saya baca Jawa Post dan melihat berita tentang Anda berdua. Langsung saja saya cari websitenya! Hehehehe… Memang amazing! ๐
G kebayang deh mba gatal2nya separah itu, tp beruntung jg sih y bs ketemu spesies kutu yg mngerikan, jarang2 loh. ๐
@chyemochy
^_____^”
Asyikkk banget ya bisa traveling dg orang yg kita cintai
๐
Wuih,keren. Semoga bisa berkunjung juga di Halmahera ya. Bagus juga koq pantai di Indonesia
Tahun lalu saya ke Jailolo kak, pas ada festival Jailolo ๐ Pantai dan lautnya cantik!! Sempat nyelam juga ๐