Sebaris pria bertubuh liat tampak menarik seutas tali tambang keluar dari deburan ombak di pantai. Kulit mereka berwarna coklat tua terbakar sinar matahari, mata mereka menerawang jauh ke tengah lautan nan biru. Sarung lungi yang mereka kenakan diikatkan ke pinggang menyerupai rok pendek, agar mereka lebih leluasa bergerak dan tak jatuh terjerembab.
Matahari baru terbit.
Para pria itu masih terus menarik. Badan mereka condong ke belakang. Tatapan mereka masih menerawang. Terus, terus menarik. Bagaikan permainan tarik tambang yang dimainkan tanpa emosi. Tanpa lawan, tiada ujung. Di belakang mereka, gulungan tali yang tertarik mulai menumpuk tinggi. Namun tarik tambang tanpa lawan itu tak kunjung usai. Mereka terus menarik dan menarik. Entah berapa lama mereka telah menarik, dan sampai kapan kah mereka akan menarik.
Aku berjalan mendekat.
Dan saat itu aku tersadar, ternyata di kejauhan, ada satu baris lain yang melakukan hal serupa.
“Mereka adalah para nelayan. Para penjala ikan. Yang mereka tarik sebenarnya adalah sebuah jala raksasa. Dua kelompok pria yang berjauhan itu, yang masing-masingnya menarik keluar tali dari laut, mereka menarik satu jala ikan raksasa yang sama. Segitu lebarnya jalanya!”
Aku mengamati burung-burung yang sedang bermain ombak.
“Para nelayan ini menebar jala raksasanya semalam. Setelah matahari tenggelam. Jalanya mungkin puluhan meter lebarnya. Mereka membawanya ke tengah laut. Ratusan meter atau mungkin malah lebih satu kilometer jaraknya dari pantai. Ujung kanan kiri jala yang sangat lebar itu dihubungkan dengan tali ke pantai. Ditinggalkan semalaman. Dan paginya, para nelayan menarik jala tersebut dari pantai, beserta ikan-ikan yang ada. Ini bukan hanya untuk konsumsi pribadi, namun juga untuk dijual.”
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan. Sebuah perahu kayu menepi. Para pria berlompatan turun dan menarik perahu ke pantai.
Aku mengamati mereka sambil melamun. Kehidupan pelayan di pesisir Kollam, Kerala, India. Tampaknya perahunya berat.
Teriakan seorang pria membuyarkan lamunanku. “Heyyy… jangan cuma bengong, bantu dong! Berat nih!” Tentu saja ini diucapkan dalam bahasa setempat. Bahasa Malayalam mungkin. Tentu saja sesungguhnya aku tak mengerti apa yang ia ucapkan, aku hanya mengira-ngira saja. Beberapa pria melambaikan tangan.
Bisa mengamati kegiatan sehari-hari penduduk setempat saja sudah membahagiakan, apalagi menceburkan diri di dalamnya.
Aku berlari mendekat. Membantu mereka menarik kapal warna-warni itu ke atas pasir. Ahaha, sial! Berat sekali!
Aku pun berpikir… Lalu aku tersadar…
Sebagai pendatang, kadang kita terjebak untuk tak mengganggu rutinitas orang lokal. Tak mau menjadi turis pengganggu. Merasa mereka begitu eksotik dan merasa suasana terlalu indah untuk diinterupsi oleh kita, orang luar. Namun para nelayan ini mengajarkan satu hal berharga bagiku: Mereka bukan sekadar objek tontonan. Objek fotografi, objek yang eksotis. Mereka adalah manusia, dan demikian pula lah diriku. Tidak ada label turis dan orang lokal. Mereka hanyalah manusia. Manusia yang sedang melakukan pekerjaan yang berat. Dan sudah seyogyanya aku, juga manusia, menolong mereka. Keberadaanku di sana bukan cuma sebagai pengamat, bukan hanya penikmat. Namun sebagai manusia biasa. Manusia yang… yang sekedar berinteraksi dengan manusia biasa lainnya. Tidak ada label turis dan penduduk lokal. Kita semua hanyalah manusia.
Dan hatiku pun terasa menghangat, seperti hangatnya pasir di pantai itu.
Photos were taken using Lumix GM1 mirrorless camera.
Location: Just right outside lovely Quilon Beach Hotel where I stayed at Kollam, Kerala, India.
Thank you Kerala Tourism and the partners for the wonderful #KeralaBlogExpress journey!
Thank you Gio for the beautiful morning walk and for clicking me, thank you Tarun for the information on the fishermen 😉
Serius? Mereka nggak merasa terganggu waktu Mbak Dina ikutan narik jala itu? Nggak merasa digupuhi? 😀
Mencengangkan fakta bahwa mereka mau digotongroyongi oleh orang asing yang jarang bergumul dengan dunia perikanan..
One of our best moments during Kerala trip! Santai, tak diburu waktu, interaksi dengan penduduk lokal 🙂
I like your fishermen photos – and your thoughts, which I was able to read thanks to Google translate.
…so many memories 🙂 I went to bed around 4am to got a post published the night before, but when I saw the fishermen from the window at 7am, one eye closed and the other half open (and you guys were all there already!) sleeping in lost its priority status 🙂
Aku suka itu. Membaca besar 🙂
Awesome photos, Dina! Terasa hidup.
Aku jadi ingat salah satu episode Simon Reeve yang ikut mencari ikan bareng nelayan2 di Samudera Hindia. Problemnya, gara-gara over fishing oleh kapal-kapal industri, hasil tangkapan nelayan tradisional, semakin kecil dan semakin berkurang.
Love your photos of the fishermen! I’m so sad that I didn’t get to experience this sight. Was too tired (aka lazy) to drag myself out of bed in early mornings to go with you guys ;x
Awesome pics Dina! Really wish I’d got up that morning… feels like I missed something special.
Wah, keren hasilnya! Itu cuma pakai satu lensa?
I haven’t been to India and can’t wait to go there…wonderful pictures and story…cheers…
Salam kenal kak Dina.
ceritanya asik sekali. Semoga saya juga bisa jadi world traveller seperti kk ya. Salam hangat dari Aceh. Sudah pernah kemari..? 🙂
Bulan depan akan ke aceh x)
beautiful and lively pictures! 🙂
Wohooo keren!!!
Tapi gimana dikau bisa tahu kalau mereka mengajakmu untuk bergotong royong 😀
ahh keren sekali angle pictnya, pas banget!!!
Kebaca kok, dari bahasa tubuh dan wajah 🙂
terkadang ada rasa sungkan dan nggak akrab kalau lagi jalan2 di suatu tempat.
rasa takut di tipu warga lokal, takut ditawarin ini itu.
dalam hati ya pengen sih ikutan rutinitas penduduk lokal.
Wajar kok kalo merasa begitu, karena itu bisa terjadi sungguhan 🙂 Apalagi penduduk yang sudah memandang turis ebagai kantong uang, kadang susah berinteraksi dengan mereka sebagai manusia 🙂
Beautiful pictures! Selalu suka baca cerita traveller yang nggak cuma liburan, tapi juga somehow ngerasain jadi penduduk lokal. At least interaksi. <3 <3
iya, itu yang bikin traveling jadi “hidup” 🙂
cuma mau bilang “WOW”
hehehe..
wow, hehehe
makasih
Keren kak … aku suka hasil foto dan cerita nya. Menolong sesama dan melepaskan label turis itukece banget 🙂
:*
Aaaakk… Semoga aku bisa kesana bareng tim Kerala Blog Express, aamiin…
hehehe amin
Tulisan dan foto yang mengajak saya seakan ingin merasakan momen yang sama..
keren kak 🙂
makasih 🙂
Humanis sekali tulisan Mbak Dini ini. Kadang kita memang lupa bahwa label itu adalah semu. Tak terasa kita jadi mengambil jarak dengan dunia yang sebenarnya nyata. Nicely written, Mbak!
Makasih ya 🙂